Bicara
adalah kemampuan anak untuk berkomunikasi dengan bahasa oral (mulut) yang
membutuhkan kombinasi yang serasi dari sistem neuromuskular untuk mengeluarkan
fonasi dan artikulasi suara. Proses bicara melibatkan beberapa sistem dan
fungsi tubuh, melibatkan sistem pernapasan, pusat khusus pengatur bicara di
otak dalam korteks serebri, pusat respirasi di dalam batang otak dan struktur
artikulasi, resonansi dari mulut serta rongga hidung (Pratiwi, 2008).
b.
Fisiologi Bicara
Terdapat
dua hal yang terlibat dalam proses terjadinya bicara, yaitu proses sensoris dan
motoris. Aspek sensoris yang meliputi
pendengaran, penglihatan, dan rasa raba berfungsi untuk memahami apa yang
didengar, dilihat dan dirasa. Aspek motorik yaitu mengatur laring, alat-alat
untuk artikulasi, tindakan artikulasi dan laring yang bertanggung jawab untuk
pengeluaran suara. Di dalam otak terdapat tiga pusat yang mengatur mekanisme
berbahasa, dua pusat bersifat reseptif yang mengurus penangkapan bahasa lisan
dan tulisan serta satu pusat lainnya bersifat ekspresif yang mengurus
pelaksanaan bahasa lisan dan tulisan. Ketiganya berada di hemisfer dominan dari
otak atau sistem susunan saraf pusat (Pratiwi, 2008).
Kedua
pusat bahasa reseptif tersebut adalah area 41 dan 42 disebut area wernick,
merupakan pusat persepsi auditoro-leksik yaitu mengurus pengenalan dan
pengertian segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa lisan (verbal). Area 39
broadman adalah pusat persepsi visuo-leksik yang mengurus pengenalan dan
pengertian segala sesuatu yang bersangkutan dengan bahasa tulis. Sedangkan area
Broca adalah pusat bahasa ekspresif. Ketiga pusat tersebut berhubungan satu
sama lain melalui serabut asosiasi (Pratiwi, 2008).
Saat
mendengar pembicaraan maka getaran udara yang ditimbulkan akan masuk melalui
lubang telinga luar kemudian menimbulkan getaran pada membran timpani. Dari
sini rangsangan diteruskan oleh ketiga tulang kecil dalam telinga tengah ke
telinga bagian dalam. Di telinga bagian dalam terdapat reseptor sensoris untuk
pendengaran yang disebut Coclea. Saat gelombang suara mencapai coclea maka
impuls ini diteruskan oleh saraf VII ke area pendengaran primer di otak
diteruskan ke area wernick. Kemudian jawaban diformulasikan dan disalurkan dalam
bentuk artikulasi, diteruskan ke area motorik di otak yang mengontrol gerakan
bicara. Selanjutnya proses bicara dihasilkan oleh getaran vibrasi dari pita
suara yang dibantu oleh aliran udara dari paru-paru, sedangkan bunyi dibentuk
oleh gerakan bibir, lidah dan palatum (langit-langit). Dalam proses bicara
diperlukan koordinasi sistem saraf motoris dan sensoris dimana organ
pendengaran sangat penting (Pratiwi, 2008).
c.
Penyebab Keterlambatan Bicara
Penyebab
gangguan bicara dan bahasa sangat banyak dan luas, semua gangguan mulai dari
proses pendengaran, penerus impuls ke otak, otak, otot atau organ pembuat
suara. Adapun beberapa penyebab gangguan atau keterlambatan bicara adalah
gangguan pendengaran, kelainan organ bicara, retardasi mental, kelainan genetik
atau kromosom, autis, mutism selektif, keterlambatan fungsional, afasia
reseptif dan deprivasi lingkungan. Deprivasi lingkungan terdiri dari lingkungan
sepi, status ekonomi sosial, tehnik pengajaran salah, sikap orangtua. Gangguan
bicara pada anak dapat disebabkan karena kelainan organik yang mengganggu
beberapa sistem tubuh seperti otak, pendengaran dan fungsi motorik lainnya
(Judarwanto, 2010).
Beberapa
penelitian menunjukkan penyebab ganguan bicara adalah adanya gangguan hemisfer
dominan. Penyimpangan ini biasanya merujuk ke otak kiri. Beberapa anak juga
ditemukan penyimpangan belahan otak kanan, korpus kalosum dan lintasan
pendengaran yang saling berhubungan. Hal lain dapat juga di sebabkan karena
diluar organ tubuh seperti lingkungan yang kurang mendapatkan stimulasi yang
cukup atau pemakaian 2 bahasa. Bila penyebabnya karena lingkungan biasanya
keterlambatan yang terjadi tidak terlalu berat (Judarwanto, 2010).
Terdapat
3 penyebab keterlambatan bicara terbanyak diantaranya adalah retardasi mental,
gangguan pendengaran dan keterlambatan maturasi. Keterlambatan maturasi ini
sering juga disebut keterlambatan bicara fungsional (Judarwanto, 2010).
d.
Faktor Resiko
Bayi dengan
beberapa faktor resiko harus lebih diwaspadai dan dilakukan deteksi dini lebih
cermat. Faktor resiko yang harus diwaspadai adalah
·
Bayi
prematur terutama dengan kompolikasi sepsis, poerdarahan otak dan komplikasi
lainnya
·
Bayi
berat badan lahir rendah
·
Bayi
dengan riwayat sering muntah (GER, diserta riwayat alergi dan hipersensitifitas
makanan.
·
Bayi
saat paska kelahiran dirawat di NICU dengan kuning sangat tinggi, terapi
tranfusi tukar, gangguan kejang, peradarahan otak, lahir tidak menangis
(asfiksia), harus lebih diwaspadai beresiko mengalami gangguan keterlambatan
bicara
·
Saudara
mengalami gangguan pendengaran
·
Infeksi
kehamilan TORCH pada ibu hamil
(Judarwanto, 2010).
e.
Keterlambatan bicara
Fungsional
Keterlambatan bicara fungsional merupakan penyebab yang
cukup sering dialami oleh sebagian anak. Keterlambatan bicara fungsional sering
juga diistilahkan keterlambatan maturasi atau keterlambatan perkembangan
bahasa. Keterlambatan bicara golongan ini disebabkan karena keterlambatan
maturitas (kematangan) dari proses saraf pusat yang dibutuhkan untuk
memproduksi kemampuan bicara pada anak. Gangguan ini sering dialami oleh
laki-laki dan sering tedapat riwayat keterlambatan bicara pada keluarga.
Biasanya hal ini merupakan keterlambatan bicara yang ringan dan prognosisnya
baik. Pada umumnya kemampuan bicara akan tampak membaik setelah memasuki usia 2
tahun. Terdapat penelitian yang melaporkan penderita keterlambatan ini
kemampuan bicara saat masuk usia sekolah normal seperti anak lainnya.
Dalam keadaan ini biasanya fungsi reseptif sangat baik
dan kemampuan pemecahan masalah visuo-motor anak dalam keadaan normal. Anak
hanya mengalami gangguan perkembangan ringan dalam fungsi ekspresif: Ciri khas
lain adalah anak tidak menunjukkan kelainan neurologis, gangguan pendengaran,
gangguan kecerdasan dan gangguan psikologis lainnya.
Keterlambatan bicara fungsional pada anak sering dialami
penderita yang mengalami gangguan alergi terutama dermatitis atopi dan saluran
cerna. Gangguan saluran cerna adalah gejala berulang seperti meteorismus,
flatus, muntah, konstipasi, diare atau berak darah. Lidah tampak timbal
geographic tounge, drooling (sialore) atau halitosis. Seringkali disertai
gangguan tidur malam, dengan ditandai sering gelisah, bolak, balik, mengigau,
tertawa, menangis dalam tidur, malam terbangun, brushing dan sebagainya
(Judarwanto, 2010).
f.
Cara Membedakan
berbagai keterlambatan bicara
Dengan memperhatikan fungsi reseptif, ekspresif,
kemampuan pemecahan masalah visuo-motor dan pola keterlambatan perkembangan,
dapat diperkirakan penyebab kesulitan berbicara
(Judarwanto, 2010).
Dalam membedakan keterlambatan bicara merupakan
fungsional atau nonfungsional harus memahami manifestasi klnis beberapa
penyebab keterlambatan bicara. Untuk memastikan status keterlambatan fungsional
harus dengan cermat menyingkirkan gejala keterlambatan nonfungsional. Gejala
umum keterlambatan bicara nonfungsional adalah adanya gangguan bahasa reseptif,
gangguan kemampuan pemecahan masalah visuo-motor dan keterlambatan perkembangan.
Dicurigai keterlambatan bicara nonfungsional bila
disertai kelainan neurologis bawaan atau didapat seperti wajah dismorfik,
perawakan pendek, mikrosefali, makrosefali, tumor otak, kelumpuhan umum,
infeksi otak, gangguan anatomis telinga, gangguan mata, cerebral palsi dan
gangguan neurologis lainnya.
Ciri lain keterlambatan bicara nonfungsional biasanya termasuk keterlambatan yang berat. Keterlambatan dikatakan berat bila bayi tidak mau tersenyum sosial sampai 10 minggu atau tidak mengeluarkan suara sebagai jawaban pada usia 3 bulan.Tanda lainnya tidak ada perhatian terhadap sekitar sampai usia 8 bulan, tidak bicara sampai usia 15 bulan atau tidak mengucapkan 3-4 kata sampai usia 20 bulan (Judarwanto, 2010).
Ciri lain keterlambatan bicara nonfungsional biasanya termasuk keterlambatan yang berat. Keterlambatan dikatakan berat bila bayi tidak mau tersenyum sosial sampai 10 minggu atau tidak mengeluarkan suara sebagai jawaban pada usia 3 bulan.Tanda lainnya tidak ada perhatian terhadap sekitar sampai usia 8 bulan, tidak bicara sampai usia 15 bulan atau tidak mengucapkan 3-4 kata sampai usia 20 bulan (Judarwanto, 2010).
Tabel 1. Tampilan klinis keterlambatan bicara yang sering
dikaitkan dengan keterlambatan bicara nonfungsional
4 – 6 BULAN
|
|
8 – 10 BULAN
|
|
12 – 15 BULAN
|
|
18 – 24 BULAN
|
|
30 –
36 BULAN
|
|
3 – 4 TAHUN
|
|
(Judarwanto,
2010).