Selasa, 06 Agustus 2013

KOLELITIASIS ( Penyakit Batu Empedu)



Definisi dan Patogenesis Kolelitiasis

Kolelitiasis atau biasa disebut batu empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu yaitu kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan fosfolipid (Price, 2006). Kejadian kolelitiasis biasanya diikuti dengan kemunculan gelaja peradangan kandung empedu atau disebut kolesistitis.
Batu empedu menurut komposisinya dibagi menjadi 3 jenis yaitu batu pigmen, batu kolesterol, dan batu campuran (Price, 2006).
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini yaitu bilirubinat, karbonat, fosfat, atau asam lemak rantai panjang. Batu-batu ini cenderung berukuran kecil, multiple, dan berwarna hitam kecoklatan. Batu pigmen yang berwarna hitam berkaitan dengan hemolisis kronis. Batu pigmen berwarna coklat berkaitan dengan infeksi empedu kronis, batu semacam ini lebih jarang dijumpai (Price, 2006).
Patogenesis batu pigmen melibtakan infeksi saluran empedu, stasis empedu, malnutrisi, dan faktor diet. Hidrolisis bilirubin oleh enzim b-glucoronidase bakteri akan membentuk bilirubin tak terkonjugasiyang akan mengendap sebagai calcium bilirubinate (Sudoyo, 2006).
Batu kolesterol “murni” biasanya berukuran besar, soliter, berstruktur bulat atau oval, berwarna kuning pucat dan seringkali mengandung kalsium dan pigmen. Sedangkan batu kolesterol campuran paling sering ditemukan. Batu ini memiliki gamabaran batu pigmen maupun batu kolesterol, majemuk, dan berwarna coklat tua. Batu empedu campuran sering dapat terlihat dengan pemeriksaan radiografi, sedangkan batu kompisisi murni tidak terlihat.  
Ada tiga faktor penting yang berperan dalam patogenesis batu kolesterol yaitu :
1.      Hipersaturasi kolesterol dalam kandung empedu
2.      Percepatan terjadinya kristalisasi kolesterol
3.      Gangguan motilitas kandung empedu dan usus
(Sudoyo, 2006)
Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam pembentukan batu empedu. Pada penderita batu empedu kolesterol, hati menyekresikan empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu. Statis empedu dalam kandung emepdu mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur (Price, 2006).
Stasis empedu dapat disebabkan oleh beberapa hal. Gangguan kontraksi kandung empedu, atau spasme sfingter Oddi; faktor hormonal terutama selama kehamilan; infeksi bakteri dalam saluran empedu adalah beberapa hal yang dapat menyebabkan tinggi kejadian statis empedu. Namun, infeksi mungkin lebih sering timbul sebagai akibat dari terbentuknya batu empedu dibandingkan sebagai penyebab terbentuknya batu empedu (Price, 2006).

Manifestasi Klinis

Gejala yang timbul pada pasien penderita batu empedu terjadi seringkali diakibatkan karena batu yang kecil melewati duktus koledokus yang menyebabkan kejadian yang disebut kolesistitis atau radang kandung empedu, yang dapat terjadi secara akut maupun kronis. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada epigastrium, nyeri dapat menyebar ke punggung dan bahu kanan. Nyeri dapat berlangsung berjam-jam atau dapat kambuh kembali setelah pulih beberapa saat. Penderita dapat berkeringat banyak, nausea (mual) dan vomitus (muntah).  Kolesistitis  yang akut tersebut biasanya sering disertai sumbatan batu dalam duktus sistikus dan sering disebut kolik bilier (Price, 2006).
            Gejala kolesistitis  kronis mirip dengan gejala akutnya, namun tanda dan beratnya nyeri kurang nyata. Penderita kolesistitis kronik  memiliki riwayat dyspepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati, atau flatulen yang berlangsung lama (Price, 2006).

Penegakan Diagnosis

Penegakan diagnosis pasien koleliatiasis didasarkan pada pemeriksaan ultrasonografi yang menunjukkan adanya batu pada saluran empedu maupun malfungsi kandung mepedu. Kolesistitis akut juga dapat didiagnosis dengan koleskintigrafi, yaitu suatu metode menggunakan agen radioaktif IV (Price, 2006).
ERCP (endoscopic retrograde cholangiopancreatography) dapat digunakan untuk mendeteksi adanya batu dalam duktus (Price, 2006).  ERCP sangat bermanfaat dalam mendeteksi batu saluran empedu dengan sensitivitas 90%, spesifitas 98%, dan akurasi 96%, namun prosedur ini invasive dan dapat menimbulkan komplikasi pancreatitis dan kolangitis yang dapat berakibat fatal (Sudoyo, 2006).
            MRCP (magnetic resonance cholangiopancreatography) adalah teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras, instrument, dan radiasi ion. MRCP memiliki kelebihan dibandingkan ERCP yang salah satunya adalah pencitraan saluran empedu tanpa resiko yang berhubungan dengan instrument, zat kontras, maupun radiasi. Namun MRCP bukan merupakan modalitas terapi dan aplikasinya juga bergantung pada operator, sedangkan ERCP dapat berfungsi sebagai sara diagnostik dan terapi pada saat yang sama (Sudoyo, 2006).
           
Penangangan Kolelitiasis Simptomatik

Pengobatan paliatif pada pasien kolelitiasis adalah dengan menghindari makanan dengan kandungan lemak tinggi, seperti jeroan, makanan berminya, dan juga kacang-kacangan. Selain itu pada pasien simptomatik dapat diberikan cairan IV, isap nasogastrik, analgetik, dan antibiotic. Asam empedu oral juga dapat digunakan untuk melarutkan kolesterol pada batu empedu campran (Price, 2006).
Penanganan pengangkatan kandung empedu juga dapat dilakukan dimana penanganan yang saat ini banyak digunakan adalah dengan kolesistektomi laparoskopi, yaitu teknik pembedahan invasive minimal di dalam rongga abdomen dengan luka operasi kecil (2-10cm) sehingga rasa nyeri pasca bedah minimal dan dari segi kosmetik luka parut yang kecil. Pada kasus empiema atau bila penderita dalam kondisi kesehatan yang buruk, kandung empedu tidak dibuang tetapi hanya di drainese (Sudoyo, 2006).

Komplikasi

Komplikasi yang biasa timbul pada kejadian kolelitiasis  adalah kolesistisis dan obstruksi duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermiten, atau permanen. Terkadang, batu dapat menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering menyebabkan terjadinya peritonitis (radang selaput abdomen) atau bisa juga terjadi rupture dinding kandung empedu (Price, 2006).

Daftar Pustaka

Price, S.A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 6. Jakart: EGC

Sudoyo, A.W. dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

*Dengan Sedikit Perubahan.

Senin, 05 Agustus 2013

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) 2



D. Penegakan Diagnosis

Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit. 
Anamnesis pada pasien dimulai dari penemuan faktor resiko dan gejala yang muncul pada pasien. Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat kerja (PDPI, 2003). Gejala klinis yang dapat ditemui pada pasien PPOK antara lain batuk kronis, batuk berdahak, dan juga sesak nafas. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan (GOLD, 2009).
Pemeriksaan fisik pada PPOK  dimulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan edema tungkai. Pada perkusi biasanya ditemukan adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronki, dan mengi (PDPI, 2003). Laboratorium darah rutin yang sebaiknya diperiksa pada penderita PPOK adalah Haemoglobin, Hematocrit, dan Leukosit (PDPI, 2003). 
Pemeriksaan penunjang pada PPOK antara lain Spirometri, Radiologi, Laboraturium darah rutin, Analisa Gas Darah, dan Mikrobiologi sputum. Pada spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP), obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20% (PDPI, 2003).
          Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien (GOLD, 2009).
             
E. Penatalaksanaan PPOK
         Penatalaksanaan pasien PPOK meliputi edukasi; obat-obatan yang meliputi bronkodilator, antibiotik, antiinflamasi, antioksidan, mukolitik, antitusif; terapi oksigen; ventilasi mekanis; nutrisi; dan rehabilitasi.

F. Komplikasi PPOK

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2003).

Daftar Pustaka 

Chojnowski, D., 2003. “GOLD” Standards for Acute Exacerbation in COPD. The Nurse Practitioner. EBSCO Publishing 28 (5): 26-36.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Barcelona: Medical Communications Resources. Available from: http://www.goldcopd.org
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Available from: http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
Sherwood, L., 2001. Sistem Pernapasan. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC, 410-460.
Suradi. 2009. Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Tinjauan Patogenesis, Klinis dan Sosial. Pidato Guru Besar, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Available from: http://www.uns.ac.id/2009/penelitian.php?act=det&idA=263

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) 1


A. Definisi
 PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).
PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, dan tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. (PDPI, 2003).

B. Faktor Resiko 

Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan penderita termasuk dalam golongan perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok (PDPI, 2003).
Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah hari lamanya merokok dalam satu tahun (Suradi, 2009). Berdasarkan Indeks Brigman, derajat merokok yang dapat digolongkan menjadi:
Ringan             : 0-200
Sedang            : 200-600
Berat               : >600
(PDPI, 2003)
Faktor resiko lain yang dapat mempengaruhi untuk terjadinya PPOK antara lain Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja, Hipereaktiviti bronkus, Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang, dan Defisiensi antitripsin alfa – 1.

C. Patogenesis

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural padasaluran napas kecil yaitu  inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas (PDPI, 2003).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).
             

Daftar Pustaka

 Chojnowski, D., 2003. “GOLD” Standards for Acute Exacerbation in COPD. The Nurse Practitioner. EBSCO Publishing 28 (5): 26-36.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Barcelona: Medical Communications Resources. Available from: http://www.goldcopd.org
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Available from: http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
Sherwood, L., 2001. Sistem Pernapasan. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC, 410-460.
Suradi. 2009. Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Tinjauan Patogenesis, Klinis dan Sosial. Pidato Guru Besar, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Available from: http://www.uns.ac.id/2009/penelitian.php?act=det&idA=263



Selasa, 09 April 2013

Angina Pektoris


A. Sepenggal Pengantar tentang Angina Pektoris

Angina Pektoris adalah sindroma klinis berupa nyeri dada karena iskemia miokard yang bersifat sementara. Iskemia miokard adalah keadaan dimana otot jantung mengalami kekurangan oksigen namun belum mengalami kerusakan dan bersifat reversibel, yang dengan alam bantu diagnostik EKG didapatkan hasil ST depresi atau T inverse.

Berdasarkan gejala klinis, Angina Pektoris dibedakan menjadi dua yaitu Angina Pektoris stabil dan Angina Pektoris tak stabil. Angina Pektoris stabil merupakan suatu kejadian nyeri dada yang berlangsung tidak lebih dari 15 menit, dicetuskan oleh suatu aktivitas fisik ataupun faktor pencetus seperti stres. Nyeri dada ini dapat berkurang dengan istirahat maupun pemberian obat (nitrogliserin sublingual). Angina Pektoris tak stabil adalah kejadian nyeri dada yang berdurasi lebih dari 15 menit dengan intensitas dan frekuensi yang semakin meningkat setiap kali kejadian berulang. Faktor pencetus lebih ringan, bisa terjadi saat istirahat. Yang tergolong Angina Pektoris tak stabil yaitu pasien dengan Angina dalam 2 bulan terakhir dirasakan semakin memberatkan dengan frekuensi cukup sering ( dapat terjadi 3 kali dalam sehari), pasien dengan Angina yang bertambah berat namun faktor pencetus semakin ringan, pasien dengan serangan Angina pada waktu istirahat.

Karakteristik nyeri dada pada Angina Pektoris dapat dijadikan patokan berdasarkan lokasi nyeri, kualitas nyeri, kuantitas nyeri, gejala penyerta. Lokasi nyeri bisa didapatkan di dada tengah, retrosternal atau substernal atau di daerah perikordial, yang dapat disertai dengan penjalaran ke leher, rahang, bahu, sampai ke lengan ( biasanya lengan kiri). Kualitas nyeri dapat berupa nyeri tumpul seperti rasa tertindih atau berat di daerah dada, rasa desakan yang kuat, rasa tertekan. Nyeri berhubungan dengan aktivitas dan berkurang atau sembuh dengan istirahat, terapi tidak berhubungan dengan perubahan pergerakan nafas dan perubahan posisi tubuh. Kuantitas nyeri yang berlangsung biasanya nyeri yang hilang timbul dengan intensitas yang semakin bertambah atau berkurang atau terkontrol. Nyeri yang terjadi terus menerus sepanjang hari atau bahkan beberapa hari biasanya bukanlah nyeri Angina Pektoris. Gejala lain yang dapat menyertai Angina Pektoris antara lain mual, muntah, keringat dingin, sulit bernafas, cemas, dan lemas.

Klasifikasi Angina Pektoris berdasarkan Canadian Cardiovaskuler Association dibagi menjadi 4 kelas. Kelas I, nyeri dada timbul saat aktivitas fisik yang berat seperti berjalan cepat atau terburu-buru, bekerja, atau saat bepergian. Kelas II, aktivitas sehari-hari agak terbatas seperti naik tangga lebih dari 1 lantai, jalan menanjak. Kelas III, aktivitas sehari- hari terbatas, seperti naik tangga 1 lantai. Kelas IV, nyeri dada terjadi saat istirahat dan aktivitas ringan seperti mandi dan menyapu.

B. Penegakan Diagnosis

Untuk membedakan nyeri dada akibat Angina Pektoris atau penyakit lain yang paling awal adalah dengan melakukan anamnesis terperinci mengenai keluhan utama yang dirasakan.

Seperti lokasi nyeri dada, karena lokasi nyeri dada pada Angina juga bisa dirasakan sama pada orang dengan gastritis ( yang letaknya di regio epigastrium pada abdomen). Meskipun pada gastritis bukan lagi di regio thorax melainkan di regio abdomen, namun kebanyakan pasien sulit membedakan lokasi nyerinya, sehingga sering terjadi missed diagnostik.

Untuk kualitas nyeri dada pada Angina Pektoris adalah nyeri tumpul atau nyeri seperti tertindih beban berat, dimana kualitas nyeri ini dapat dibedakan dengan nyeri akibat trauma thorax, carsinoma, penyakit paru, maupun penyakit jantung lain. Untuk nyeri dada yang dirasakan nyeri yang tajam biasanya dirasakan pada kasus pleuritis pada pasien tersangka TB. Untuk pasien asma bronkhial biasanya dirasakan nyeri dada seperti terikat dan sesak nafas.

Untuk membedakan Angina Pektoris stabil dan tak stabil dilihat dari awitan nyeri dadanya, sedangkan untuk untuk penyebab nyeri dipertimbangkan apakah berasal dari jantung ( akibat iskemi miokard) atau akibat kondisi di luar jantung ( emoboli paru, refluks esofageal, di seksi Arta, pleuritis, atau penyakit pernafasan lain).

Selain tentang keluhan utama, perlu digali lebih lanjut mengenai riwayat nyeri dada sebelumnya, riwayat penyakit lain ( diabetes, hipertensi, dislipidemia, merokok), riwayat keluarga ( riwayat gagal jantung iskemi atau IHD / iskemia heart failure, kematian mendadak), dan juga riwayat obat-obatan pasien.

Pemeriksaan fisik yang lazim dilakukan adalah pemeriksaan tanda vital yang meliputi pemeriksaan tensi, nadi, suhu dan pernafasan, dan pemeriksaan fisik jantung yang meliputi inspeksi, perkusi, palpasi, dan auskultasi.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain EKG, pemeriksaan laboratorium, ekokardiografi, dan angiografi koroner. Pada pemeriksaan EKG bisa didapatkan gambaran iskemi yaitu ST depresi, T inverse, atau keduanya. Pada pemeriksaan laboratorium penanda paling penting adalah troponin T atau I, dan CK-MB. Dianggap terjadi mionekrosis apabila troponin positif dalam sejak awitan 24 jam dan menetap hingga 2 minggu. CK-MB berguna untuk menunjukkan proses infak yang meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam. Pemeriksaan ekokardiografi digunakan untuk menganalisis fungsi miokardium segmentalbila serangan terjadi pada penderita Angina Pektoris stabil kronik atau bila pernah terjadi infark miokar sebelumnya. Ekokardiografi bermanfaat untuk memperlihatkan ada tidaknya stenosis aorta atau kardiomipati hipertrofi yang terjadi pada pasien dengan murmur sistolik. Selidiki juga dapat memperlihatkan luasnya iskemia bila dilakukan pemeriksaan saat nyeri dada sedang berlangsung. Angiografi koroner diperlukan pada pasien dengan Angina Pektoris stabil kelas 3-4 meskipun telah mendapatkan terapi atau pasien risiko tinggi tanpa mempertimbangkan beratnya Angina.

C. Terapi yang dapat Dilakukan

Terapi ada 2 jenis yaitu terapi non farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non farmakologis adalah terapi kini utama yang wajib diberikan pada pasien dengan Angina Pektoris yaitu berupa perbaikan pola hidup seperti berhenti merokok, penurunan berat badan, diet makanan berkolesterol tinggi, olahraga teratur, menghindari stres, dll. Sedangkan apabila masih terjadi Angina Pektoris berulang, maka untuk meringankan dapat diberikan obat anti iskemia antara lain, nitrat, beta broker, Ca antagonis, obat anti agregasi platelet, obat anti trombin. Nitrat bekerja dengan mem-vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen. Nitrat juga menambah suplai oksigen karena vasodilatasi arteri koroner dan memperbaiki sistem kolateral. Beta broker menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Sedangkan Ca antagonis bekerja dengan cara mem-vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan darah.


Sumber:
Sudoyo, Aru W, dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Fakultas Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Mansjoer A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Sebagian besar tulisan disadur dari buku OSCE Komprehensif buatan kakak tingkat angkatan 2007 FK UNS :)

Senin, 01 April 2013

Demensia

Sebelum mengenal demensia akan saya perjelas terlebih dahulu bahwa demensia dan amnesia adalah 2 hal yang berbeda. Amnesia dapat diartikan sebagai gangguan memori, sedangkan Demensia adalah suatu keadaan patologis yang berupa penurunan fungsi kognisi dengan gangguan memori. Jadi amnesia itu tanpa penurunan fungsi kognisi, hanya terjadi gangguan memori. Amnesia dapat terjadi mendadak yang biasanya akibat dari trauma kepala. Sedangkan demensia memerlukan proses perjalanan yang lama yang bisa disebabkan karena penyakit gangguan vaskular otak (seperti stroke), penyakit degeneratif, infeksi (AIDS), trauma kepala, normal pressure hidrosefalus, tapi penyebab terbanyak demensia adalah Alzheimer.

Otak tidak bisa kekurangan glukosa, pada orang hipoglikemia terjadi oedema cerebri yang irreversibel. Selain itu hemodialisis juga dapat menyebabkan demensia. Dalam hemodialisis terdapat aluminium yang dapat meracuni otak. Keganasan atau tumor juga dapat meningkatkan terjadinya demensia akibat massa tumor yang mendesak otak.

Ada juga sebutan pseudodemensia, yaitu suatu gangguan fungsi kognisi dengan gangguan memori yang terjadi mendadak yang disebabkan karena depresi.

Macam-macam gangguan memori dapat dibedakan menjadi :

Yang pertama,
Mudah lupa (Forget Fullness) yaitu penurunan fisiologis kemampuan memori akibat gangguan pemusatan perhatian. Bukan merupakan demensia, tapi normal.

Yang kedua,
Disingkat MCI (Mild Cognitive Impairment) adalah proses kelanjutan dari Forget Fullness tadi :)

Yang ketiga,
Demensia yaitu penurunan fungsi kognisi dengan gangguan memori yang berjalan secara lambat (bukan mendadak). Demensia dibagi menjadi yaitu demensia vaskular, demensia Alzheimer, demensia lewy body. Demensia vaskular disebabkan oleh serangkaian proses seperti ini : defisit neurologis fokal --> kelumpuhan --> stroke --> demensia. Sedangkan demensia Alzheimer tidak dikarenakan stroke dan pada CT scan didapatkan hasil yang normal. Demensia lewy body

Yang keempat,
Normal Pressure Hidrosefalus yang memiliki trias yaitu demensia, ataksia, inkontinensia urin. Jadi kalo ada 3 gejala klinis tersebut dimungkinkan itu adalah Normal Pressure Hidrosefalus. Terapinya adalah ventrikulo peritoneal shunt yaitu diberi selang penghubung antara otak dengan perut.

Yang kelima,
Subdural Hematom Kronik. Udah tahu kan subdural hematom adalah tertumpuknya darah dalam ruang antara durameter dan arakhnoid. Yang sering disebabkan karena trauma. Kalo akut mungkin hanya lateralisasi dan gangguan kesadaran, tapi kalo kronik biaa terjadi gangguan memori. Terapinya berupa pembedahan.

Yang keenam,
Creutzfeldt Jacob Disease (lidahnya mlungker nih baca ini.. :s)
Tanda dalam diagnostiknya adalah gambaran Sharp Wage complex pada EEG dan adanya tanda klinis berupa mioklonus (pergerakan otot secara tidak sadar)

Sumber : catatan kuliah Geriatri

Tentang Memori

Ini ringkasan catatanku tentang kuliah neurologi pada lansia setahun lalu...
Selamat belajar yaa...

Otak dibagi menjadi 2 yaitu hemisferium cerebri sinistra yang mengatur fungsi kognitif dan hemisferium cerebri dextra yang mengatur fungsi komunikasi non-verbal. Fungsi kognitif meliputi attention, language, memory, visuospasial, executive function (perencanaan, organisasi, dan pelaksanaan).

Memori dibagi menjadi 3 yaitu memori prosedural, memori episodik, dan memori somatik. Memori prosedural berfungsi menyimpan keterampilan motorik dan perhatian, dimana memori ini disimpan di ganglia basalis dan cortex cerebri. Contoh mempri ini seperti main musik, belajar matematika atau bahasa, dll. intinya memori ini akan diingat dalam mangka waktu yang lama. Memori episodik adalah memori tentang gambaran runtutan kejadian dalam perjalanan kehidupan (aduh bahasanyaaa --") yang disimpan di sistem lymbic, hipotalamus, dan thalamus. Memori ini dapat dicontohkan seperti kegiatan apa saja yang dilakukannya dalam 1 minggu terakhir, ntuk orang normal gambaran runtutan kejadiaan 1 minggu terakhir bisa diingat, tapi kalo misal 1 tahun terakhir kan pasti lupa, itu namanya memori episodik, ada batasan waktu. Sedangkan memori somatik adalah memori yang disimpan di Louis temporal cerebri, dimana memori ini sulit untuk diingat. Contohnya ni ya materi kuliah kita hari ini, soalnya kalo udah sampe rumah pasti lupa tadi kuliah apa.. Hahaha -,-

Beberapa gangguan pada cerebri dapat dibagi menjadi beberapa bagian berdasarkan lotus yang mengalami gangguan.
Bila ada gangguan pada lobus frontalis terdapat gambaran klinis seperti tidak dapat menyelesaikan tugas yang diberikan padanya, preservasi (bertanya yang diulang ulang), impulsive agresive (mendadak, terjadi sesuatu yang tidak diduga seperti melempar memukul,dll), disfasia motorik (agak sulit bicara).
Bila ada gangguan pada lobus temporalis maka dapat terjadi gangguan belajar verbal, afasia receptive (tidak bisa memahami yang dikatakan orang padanya).
Bila ada gangguan pada lobus parietalis maka terjadi pengabaian sisi tubuh (seperti pada orang stroke), apraksia konstruksi (lupa jalan pulang ke rumah).
Bila gangguan pada lobus occipital maka dapat terjadi gangguan penglihatan, agnosia visual (organnya normal tapi ga ngerti apa yang dilihat).