Selasa, 06 Agustus 2013

KOLELITIASIS ( Penyakit Batu Empedu)



Definisi dan Patogenesis Kolelitiasis

Kolelitiasis atau biasa disebut batu empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu yaitu kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan fosfolipid (Price, 2006). Kejadian kolelitiasis biasanya diikuti dengan kemunculan gelaja peradangan kandung empedu atau disebut kolesistitis.
Batu empedu menurut komposisinya dibagi menjadi 3 jenis yaitu batu pigmen, batu kolesterol, dan batu campuran (Price, 2006).
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini yaitu bilirubinat, karbonat, fosfat, atau asam lemak rantai panjang. Batu-batu ini cenderung berukuran kecil, multiple, dan berwarna hitam kecoklatan. Batu pigmen yang berwarna hitam berkaitan dengan hemolisis kronis. Batu pigmen berwarna coklat berkaitan dengan infeksi empedu kronis, batu semacam ini lebih jarang dijumpai (Price, 2006).
Patogenesis batu pigmen melibtakan infeksi saluran empedu, stasis empedu, malnutrisi, dan faktor diet. Hidrolisis bilirubin oleh enzim b-glucoronidase bakteri akan membentuk bilirubin tak terkonjugasiyang akan mengendap sebagai calcium bilirubinate (Sudoyo, 2006).
Batu kolesterol “murni” biasanya berukuran besar, soliter, berstruktur bulat atau oval, berwarna kuning pucat dan seringkali mengandung kalsium dan pigmen. Sedangkan batu kolesterol campuran paling sering ditemukan. Batu ini memiliki gamabaran batu pigmen maupun batu kolesterol, majemuk, dan berwarna coklat tua. Batu empedu campuran sering dapat terlihat dengan pemeriksaan radiografi, sedangkan batu kompisisi murni tidak terlihat.  
Ada tiga faktor penting yang berperan dalam patogenesis batu kolesterol yaitu :
1.      Hipersaturasi kolesterol dalam kandung empedu
2.      Percepatan terjadinya kristalisasi kolesterol
3.      Gangguan motilitas kandung empedu dan usus
(Sudoyo, 2006)
Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam pembentukan batu empedu. Pada penderita batu empedu kolesterol, hati menyekresikan empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu. Statis empedu dalam kandung emepdu mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur (Price, 2006).
Stasis empedu dapat disebabkan oleh beberapa hal. Gangguan kontraksi kandung empedu, atau spasme sfingter Oddi; faktor hormonal terutama selama kehamilan; infeksi bakteri dalam saluran empedu adalah beberapa hal yang dapat menyebabkan tinggi kejadian statis empedu. Namun, infeksi mungkin lebih sering timbul sebagai akibat dari terbentuknya batu empedu dibandingkan sebagai penyebab terbentuknya batu empedu (Price, 2006).

Manifestasi Klinis

Gejala yang timbul pada pasien penderita batu empedu terjadi seringkali diakibatkan karena batu yang kecil melewati duktus koledokus yang menyebabkan kejadian yang disebut kolesistitis atau radang kandung empedu, yang dapat terjadi secara akut maupun kronis. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada epigastrium, nyeri dapat menyebar ke punggung dan bahu kanan. Nyeri dapat berlangsung berjam-jam atau dapat kambuh kembali setelah pulih beberapa saat. Penderita dapat berkeringat banyak, nausea (mual) dan vomitus (muntah).  Kolesistitis  yang akut tersebut biasanya sering disertai sumbatan batu dalam duktus sistikus dan sering disebut kolik bilier (Price, 2006).
            Gejala kolesistitis  kronis mirip dengan gejala akutnya, namun tanda dan beratnya nyeri kurang nyata. Penderita kolesistitis kronik  memiliki riwayat dyspepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati, atau flatulen yang berlangsung lama (Price, 2006).

Penegakan Diagnosis

Penegakan diagnosis pasien koleliatiasis didasarkan pada pemeriksaan ultrasonografi yang menunjukkan adanya batu pada saluran empedu maupun malfungsi kandung mepedu. Kolesistitis akut juga dapat didiagnosis dengan koleskintigrafi, yaitu suatu metode menggunakan agen radioaktif IV (Price, 2006).
ERCP (endoscopic retrograde cholangiopancreatography) dapat digunakan untuk mendeteksi adanya batu dalam duktus (Price, 2006).  ERCP sangat bermanfaat dalam mendeteksi batu saluran empedu dengan sensitivitas 90%, spesifitas 98%, dan akurasi 96%, namun prosedur ini invasive dan dapat menimbulkan komplikasi pancreatitis dan kolangitis yang dapat berakibat fatal (Sudoyo, 2006).
            MRCP (magnetic resonance cholangiopancreatography) adalah teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras, instrument, dan radiasi ion. MRCP memiliki kelebihan dibandingkan ERCP yang salah satunya adalah pencitraan saluran empedu tanpa resiko yang berhubungan dengan instrument, zat kontras, maupun radiasi. Namun MRCP bukan merupakan modalitas terapi dan aplikasinya juga bergantung pada operator, sedangkan ERCP dapat berfungsi sebagai sara diagnostik dan terapi pada saat yang sama (Sudoyo, 2006).
           
Penangangan Kolelitiasis Simptomatik

Pengobatan paliatif pada pasien kolelitiasis adalah dengan menghindari makanan dengan kandungan lemak tinggi, seperti jeroan, makanan berminya, dan juga kacang-kacangan. Selain itu pada pasien simptomatik dapat diberikan cairan IV, isap nasogastrik, analgetik, dan antibiotic. Asam empedu oral juga dapat digunakan untuk melarutkan kolesterol pada batu empedu campran (Price, 2006).
Penanganan pengangkatan kandung empedu juga dapat dilakukan dimana penanganan yang saat ini banyak digunakan adalah dengan kolesistektomi laparoskopi, yaitu teknik pembedahan invasive minimal di dalam rongga abdomen dengan luka operasi kecil (2-10cm) sehingga rasa nyeri pasca bedah minimal dan dari segi kosmetik luka parut yang kecil. Pada kasus empiema atau bila penderita dalam kondisi kesehatan yang buruk, kandung empedu tidak dibuang tetapi hanya di drainese (Sudoyo, 2006).

Komplikasi

Komplikasi yang biasa timbul pada kejadian kolelitiasis  adalah kolesistisis dan obstruksi duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermiten, atau permanen. Terkadang, batu dapat menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering menyebabkan terjadinya peritonitis (radang selaput abdomen) atau bisa juga terjadi rupture dinding kandung empedu (Price, 2006).

Daftar Pustaka

Price, S.A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 6. Jakart: EGC

Sudoyo, A.W. dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

*Dengan Sedikit Perubahan.

Senin, 05 Agustus 2013

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) 2



D. Penegakan Diagnosis

Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit. 
Anamnesis pada pasien dimulai dari penemuan faktor resiko dan gejala yang muncul pada pasien. Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat kerja (PDPI, 2003). Gejala klinis yang dapat ditemui pada pasien PPOK antara lain batuk kronis, batuk berdahak, dan juga sesak nafas. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan (GOLD, 2009).
Pemeriksaan fisik pada PPOK  dimulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan edema tungkai. Pada perkusi biasanya ditemukan adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronki, dan mengi (PDPI, 2003). Laboratorium darah rutin yang sebaiknya diperiksa pada penderita PPOK adalah Haemoglobin, Hematocrit, dan Leukosit (PDPI, 2003). 
Pemeriksaan penunjang pada PPOK antara lain Spirometri, Radiologi, Laboraturium darah rutin, Analisa Gas Darah, dan Mikrobiologi sputum. Pada spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP), obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20% (PDPI, 2003).
          Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien (GOLD, 2009).
             
E. Penatalaksanaan PPOK
         Penatalaksanaan pasien PPOK meliputi edukasi; obat-obatan yang meliputi bronkodilator, antibiotik, antiinflamasi, antioksidan, mukolitik, antitusif; terapi oksigen; ventilasi mekanis; nutrisi; dan rehabilitasi.

F. Komplikasi PPOK

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2003).

Daftar Pustaka 

Chojnowski, D., 2003. “GOLD” Standards for Acute Exacerbation in COPD. The Nurse Practitioner. EBSCO Publishing 28 (5): 26-36.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Barcelona: Medical Communications Resources. Available from: http://www.goldcopd.org
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Available from: http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
Sherwood, L., 2001. Sistem Pernapasan. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC, 410-460.
Suradi. 2009. Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Tinjauan Patogenesis, Klinis dan Sosial. Pidato Guru Besar, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Available from: http://www.uns.ac.id/2009/penelitian.php?act=det&idA=263

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) 1


A. Definisi
 PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).
PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, dan tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. (PDPI, 2003).

B. Faktor Resiko 

Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan penderita termasuk dalam golongan perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok (PDPI, 2003).
Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah hari lamanya merokok dalam satu tahun (Suradi, 2009). Berdasarkan Indeks Brigman, derajat merokok yang dapat digolongkan menjadi:
Ringan             : 0-200
Sedang            : 200-600
Berat               : >600
(PDPI, 2003)
Faktor resiko lain yang dapat mempengaruhi untuk terjadinya PPOK antara lain Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja, Hipereaktiviti bronkus, Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang, dan Defisiensi antitripsin alfa – 1.

C. Patogenesis

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural padasaluran napas kecil yaitu  inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas (PDPI, 2003).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).
             

Daftar Pustaka

 Chojnowski, D., 2003. “GOLD” Standards for Acute Exacerbation in COPD. The Nurse Practitioner. EBSCO Publishing 28 (5): 26-36.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Barcelona: Medical Communications Resources. Available from: http://www.goldcopd.org
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Available from: http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
Sherwood, L., 2001. Sistem Pernapasan. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC, 410-460.
Suradi. 2009. Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Tinjauan Patogenesis, Klinis dan Sosial. Pidato Guru Besar, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Available from: http://www.uns.ac.id/2009/penelitian.php?act=det&idA=263